Home » » Askep Kusta

Askep Kusta


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot, tulang dan testis. Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Hal ini menyebabkan penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang medis juga masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan perhatian yang serius.

Kusta kebanyakan ditemukan di Afrika Tengan dan Asia Tenggara, dengan angka kejadian di atas 10 per 1.000. hal ini disebabkan meningkatnya mobilitas penduduk, misalnya imigrasi, pengungsi dan sebagainya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada tahun sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke prevalensi terdaftar. Penemuan secara global terhadap kasus baru menunjukkan penurunan. Di India jumlah kasus kira-kira 4 juta, pada tahun 1961 jumlah penderita kusta sebesar 2,5 juta, pada tahun 1971 jumlah penderita 3,2 juta dan tahun 1981 jumlah penderita 3,9 juta. Kusta juga banyak ditemykan di Amerika Tengah dan Selatan dengan jumlah kasus yang tercatat lebih dari 5.000 kasus.

Selama tahun 2000 di Indonesia ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002. Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002. Propinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah propinsi adalah Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002.

Permasalahan penyakit kusta bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks bukan hanya dari segi medis tetapi juga menyangkut masalah sosial ekonomi, budaya dan ketahanan Nasional. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. Hal ini disebabkan rasa takut, malu dan isolasi sosial berkaitan dengan penyakit ini. Laporan tentang kusta lebih kecil daripada sebenarnya, dan beberapa negara enggan untuk melaporkan angka kejadian penderita kusta sehingga jumlah yang sebenarnya tidak diketahui. Melihat besarnya manifestasi penyakit ini maka perlu dilakukan suatu langkah penanggulangan penyakit tersebut. Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.

Berdasarkan dari fenomena diatas maka kami mengangkat masalah upaya penanggulangan penyakit kusta sebagai judul makalah dengan harapan dapat lebih memahami penyakit kusta dan penanggulangannya.

Penulisan makalah ini diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan dalam memahami upaya penanggulangan penyakit kusta, yakni sebagai berikut :

1.      Untuk mengetahui gambaran umum penyakit kusta yang meliputi definisi ,dan epidemiologi penyakit kusta
2.      Untuk mengetahui apa saja etiologi kusta
3.      Untuk mengetahui klasifikasi kusta
4.      Untuk mengetahui manifestasi kusta
5.      Untuk mengetahui bagaimana patogenesis penyakit kusta
6.      Untuk mengetahui bagaimana peatalaksanaan penyakit kusta
7.      Untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan penyakit kusta
8.      Untuk mengetahui bagaimana cara rehabilitasinya
9.      Untuk mengetahui bagaimanaa komplikasinya


B.     Rumusan Masalah

Dalam makalah ini kami mengangkat beberapa permasalahan yang terkait dengan Penanggulangan penyakit kusta, yaitu sebagai berikut :

1.      Bagaimana gambaran umum penyakit kusta ?
2.      Apa etiologi kusta?
3.      Bagaimana klasifikasinya?
4.      Bagaimana patogenesisnya
5.      Apa saja bentuk-bentuk dan gejala penyakit kusta ?
6.      Bagaimana komplikasinya ?
7.      Bagaimana cara penatalaksanaanya?
8.      Bagaimana rehabilitasinya orang yang mengalami kusta ?
9.      Bagaimana upaya pencegahan penyakit kusta ?


BAB II

PEMBAHASAN

A.      Definisi

Kusta (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) penyakit ini menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya

B.       Etiologi

M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa salurean napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.Masa membelah diri M. leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun. M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.

C.      Epidemiologi

Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar ahli melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.

Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan, kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi dan iklim.

Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien tipe MB (multy basiler) yang belum di obati atau tidak berobat secara teratur. Bila seseorang terinfeksi M. Leprae, sebagian besar (95%) akan sembuh sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate, 30% bermanisfestasi klinis menjadi determinate dan 70% sembuh.

Insiden tinggi pada daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab. Insidens penyakit kusta di indonesia pada maret 1999 sebesar 1,01 per 10.000 penduduk.

Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10-12 tahun.

D.      Patogenesis

Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Setelah M. Leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi. Penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa. M. Leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasiyang sedikit.

M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit.

Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.

Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologis.


E.       Manifestasi Klinis

Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis. Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut.

Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.

Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul.

Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulangn setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.

F.   Klasifikasi

            Klasifikasi berdasarkan Ridley dan Joping adalah tipe TT (tuberkoloid), BT (borderkine tuberkoloid), BB (mid borderline), BL (borderline lepromatous), dan LL (lepromatosa). Sedangkan departemen kesehatan Dirjen P2MPLP (1999) dan WHO (1995) membagi tipe menjadi tipe pause basiler (PB) dan multy basiler (MB). Dan membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi

1.      TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.

2.      BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )

3.      Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).

4.      BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).

5.      LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :

Ø  Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT

Ø  Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL



G.      Gambaran Klinis

Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling

a)      Tipe Tuberkoloid ( TT )

v  Mengenai kulit dan saraf.

v  Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).

v  Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.

v  Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

b)      Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )

v  Hampir sama dengan tipe tuberkoloid

v  Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.

v  Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.

v  Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

c)      Tipe Mid Borderline ( BB )

Ø  Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.

Ø  Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.

Ø  Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris.

Ø  Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.

Ø  Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oral pada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

d)     Tipe Borderline Lepromatus ( BL )

Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.

e)      Tipe Lepromatosa ( LL )

Ø  Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.



Ø  Distribusi lesi khas :

v  Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.

v  Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.

o   Stadium lanjutan :

v  Penebalan kulit progresif

v  Cuping telinga menebal

v  Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan keratitis.

Ø  Lebih lanjut

·         Deformitas hidung

·         Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis

·         Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.

·         Penyakit progresif, makula dan popul baru.

·         Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.



Ø  Stadium lanjut

Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.

f)       Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)

v  Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.

v  Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.

v  Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

v  Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain

·         Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan

·         Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana

·         Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis

·         Lidah : ulkus, nodus

·         Larings : suara parau

·         Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi

·         Kelenjar limfe : limfadenitis

·         Rambut : alopesia, madarosis

·         Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.

H.      Penatalaksanaan

            Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.

            Program multy drug therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.









Rejimen pengobatan MDT di indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai berikut :

v  Tipe B

Jenis obat dan dosis untuk dewasa :

Rifampisin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.

DSS tablet 100 mg/hari diminum dirumah.

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (released from treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah completion of treatment cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.



v  Tipe MB

Jenis

Rifampisin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.

Klofazimin 300 mg/bulan diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum dirumah.

DSS 100 mg/hari diminum dirumah.

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan  MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

I.         Komplikasi

Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta



J.        Reaksi Kusta

Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respon seluler) atau reaksi antigen-antibodi (respon humoral) dengan akibat merugikan pasien.

Reaksi ini dapat  terjadi pada pasien sebelum mendapat pengobatan, selama pengobatan dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun esudah mulai pengobatan.



v  Jenis Reaksi

Ø  Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi boederline)

Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebakan seluler secara cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB. Faktor pencetusnya tidak diketahui secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.

Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), dan/atau gangguan keadaan umum pasien (gejala konstitusi).



Ø  Reaksi tipe II (reaksi eritema nodosum leprosum)

Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan merupakan reaksi humoral, dimana basil kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen sebagai respon adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen, antibodi, dan komplemen. Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul yang dikenal sebagai eritema nodosum leprosum (ENL), mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis) dengan disertai gejala konstitusi seperti demam dan malaise, serta komplikasi pada organ tubuh lainnya.

Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta adalah stres fisik (kondisi lemah, menstruasi, hamil, setelah melahirkan, pembedahan, sesudah mendapat imunisasi, dan malaria) dan stres mental. Perjalanan reaksi dapat berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama.

v  Penatalaksanaaan Reaksi

Prinsip pengobatan pemberian obat anti reaksi. Obat yang dapat digunakan adalah aspirin, klorokuin, prednison, dan prednisolon sebagai anti implamasi. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut :


Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari

Klorokuin         3x150 mg/hari

Prednison         30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesugah makan atau dapat juga diberikan secara dosis tertinggi misalnya : 4x2 tablet/hari, berangsur-angsur diturunkan 5-10 mg/2 minggu setelah terjadi respon maksimal.

Untuk melepas ketergantungan pada kortikosteroid pada reaksi tipe II digunanakan talidomid. Dosis talidomid 400 mg/hari yang berangsur-angsur ditirunkan sampai 50 mg/hari. Tidak dianjurkan untuk wanita usia subur karena talidomid bersifat teratogenik.

Setiap 2 minggu pasien harus diperiksa ulang untuk mellihat keadaan klinis. Bila tidak ada perbaikan maka dosis prednison yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4 minggu atau dapat ditingkatkan (misalnya dari 15 mg menjadi 20 mg sehari). Setelah ada perbaikan dosis diturunkan.

Untuk mencegah ketergantungan terhadap steroid, dapat diberikan klofazimin. Klofazimin hanya diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis). Dosis klofazimin ditinggikan dari dosis pengobatan kusta. Untuk orang dewasa 3x100 mg/hari selama 1 bulan. Bila reaksi sudah berkurang maka dosis klofazimin itu diturunkan menjadi 2 x 100 mg/hari, selama 1 bulan diturunkan lagi menjadi 1 x 100 mg/ hari selama 1 bulan. Setelah reaksi hilang pengobatan kembali ke dosis semula, yaitu 50 mg/hari

Pemberian analgesik dan sedatif. Obat yang digunakan sebagai analgesik adalah aspirin, parasetamol, dan antimon. Aspirin masih merupakan obat yang terbaik dan termurah untuk mengatasi nyeri (aspirin digunakan sebagai antiinflamasi dan analgesik). Menurut WHO (1998), parasetamol juga dapat digunakan sebagai analgesik.



K.      Upaya Pencegahan

Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan.

Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab. Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran bahwa :

v  Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta

v  Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta

v  Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain

v  Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan



L.       Rehabilitasi

            Usaha-usaha rehabilitasi meliputi medis, okupasi, dan sosial. Usaha medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat diperbaiki. Lapangan pekerjaan dapat diusahakan untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat tubuh. Tetapi kejiwaan berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh sacara medis. Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi sosial ekonomi pasien sehingga menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha pasien.



M.     Konsep Asuhan Keperawatan

1.      Pengkajian

a)      Biodata

Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.

b)      Riwayat Penyakit Sekarang

Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.

c)      Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi

d)     Riwayat Kesehatan Keluarga

Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.

e)      Riwayat Psikososial

Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan

f)       Pola Aktivitas Sehari-hari

Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.

g)      Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.

1.      Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.

2.      Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.

3.      Sistem persarafan:

v  Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.

v  Kerusakan fungsi motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).

v   Kerusakan fungsi otonom

Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.



4.      Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

5.      Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.



2.      Diagnosa

a)      Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi

b)      Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan

c)      Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik

d)     Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh

3.      Rencana  Tindakan Keperawatan

No. Dx.
   

Tujuan dan Kriteria Hasil
   

Intervensi
   

Rasional

1
   

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh.

Kriteria :

o    Menunjukkan regenerasi jaringan

o    Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
   

1.      Kaji/catat warna lesi, perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka.
2.      Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi.
3.   Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar.
4.      Bersihkan lesi dengan sabun pada waktu direndam.
5.      Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan.

R/ Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi..

R/ Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.

R/ Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.



R/ Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi..

R/ Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan.

2
   

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur hilang.

Kriteria :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang.
   

1.      Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri.
2.      Observasi tanda-tanda vital.
3.      Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi.
4.      Atur posisi senyaman mungkin
5.      Kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi.
   

R/ Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.
R/ Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien.
R/ Dapat mengurangi rasa nyeri.
R/ Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri.
R/ Menghilangkan rasa nyeri.

3 Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan.

Kriteria :

Ø  Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari

Ø  Kekuatan otot penuh
   

1.      Pertahankan posisi tubuh yang nyaman..
2.      Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit.
3.      Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif
4.      Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat.
5.      Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/orang yang terdekat pada latihan.


1.      R/ Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas.

R/ Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas.
R/ Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/sendi.
R/ Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas.
R/ Menampilkan keluarga/orang terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan.

4
   

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkat.

Kriteria :

1.      Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2.      Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
1.      Kaji makna perubahan pada pasien.
2.      Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri.
3.      Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang salah.
4.      Berikan penguatan positif.
5.      Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat.
   

1.   R/ Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal.
2.     R/ Penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan.
3.   R/ Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas.
R/ Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif.
R/ Meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien.

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan pada makalah yang kami buat, dapat di simpulkan sebagai berikut :

Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Klasifikasi bentuk-bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan yaitu tipe tuberkoloid (TT), tipe borderline tubercoloid (BT), Tipe mid borderline (BB), Tipe borderline lepromatosa, tipe lepromatosa (LL)

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail, agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu :

Ø  Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia

Ø  Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak.

Ø  Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus seryta peroneus.

Ø  Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.

Ø  Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit

Ø  Alis rambut rontok

Ø  Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa)

Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”.

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit.

Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan dan pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri..

B.     Saran

Agar pemerintah lebih meningkatkan upaya penyuluhan mengenai penyakit menular khususnya penyakit kusta.

Agar tugas pembuatan makalah seperti ini lebih sering diberikan agar dapat menambah pengetahuan bagi mahasiswa dan pembaca.



DAFTAR PUSTAKA



Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC : Jakarta.

Carpenito, L. J. 1999. Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi, keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2. Jakarta. EGC.

Mansjoer, Arif M. Kapita selekta kedokteran, jilid 1. 2000. Media aesculapius. Jakarta

http://askepkusta.blogspot.com/

Djuanda, Edwin. 1990. Rahasia Kulit Anda. FKUI. Jakarta.

Graham, Robin. 2002. Lecture Notes Dermatologi. Erlangga. Jakarta.

Melniek, dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Unair. Surabaya.

Nadesul, Hendrawan. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit. Puspa Swara. Jakarta


0 komentar:

Post a Comment

Bila Blog atau Artikel Diatas Memiliki kekurangan Maka komentar anda Sangat Bermanfaat sebagai proses pengembangan

BLOG INI ONLINE SEJAK
24 JANUARI 2012
PENGUMUMAN
Anda Punya Artikel atau Ingin Menulis Artikel diblog kami secara GRATIS, Silahkan kirim biodata anda ke : silvamadika@gmail.com